Thursday, January 3, 2013

Tanya yang belum Terjawab

Jakarta, 3 Januari 2013


Seperti bayangan yang enggan meninggalkanku, terngiang-ngiang pertanyaan dari seorang teman baru. Kenapa aku mengharapkan pasangan yang seiman? Bagaimana jika suatu hari aku jatuh cinta pada seseorang yang berlainan iman, lalu kami terlalu jauh merasa hingga hati sulit dipisahkan? Aku lebih banyak tersenyum menanggapinya meskipun dalam diriku bermunculan pertanyaan lainnya. Kenapa ada cinta jika kami tidak bisa bersama? Kenapa Tuhan yang dipahami dengan cara berbeda tidak bisa kami persamakan dengan sederhana, sesederhana hati yang hanya menginginkan cinta?


Aku berada pada titik perjalanan terjauhku untuk percaya tentang pasangan jiwa. Berpuluh tahun yang lalu seorang gadis kecil yang beranjak remaja, jatuh cinta pada pandangan pertama pada bocah laki-laki seumurannya. Anak itu tampan, berdarah jawa dan tionghoa, bersikap santun dan agak pendiam. Tapi gadis kecil itu hanya sebentar mengaguminya karena dia harus meninggalkan kota dimana cinta pertamanya berpijar dan meyakini suatu hari akan bertemu dengan pasangan jiwanya.


Berpuluh tahun kemudian, aku masih mengingat pijaran rasa yang seperti kupu-kupu mungil beterbangan merambati hati dan meringankan rasa. Indah, hanya itu yang aku ingat. Sebab ketika beranjak dewasa, jatuh cinta yang kurasakan tidaklah seperti itu. Indah telah bergabung perih yang membuatku mengerti arti kata tertusuk sembilu. Telah kulalui banyak waktu untuk mencari pasangan jiwaku. Telah kulewatkan masa dimana aku bisa memilih sendiri pria mana yang bisa jadi pasangan hidupku, karena aku merasa bukan mereka pasangan jiwaku.


Tapi pasangan jiwaku juga bukan bocah laki-laki yang sekarang telah tumbuh sama dewasanya denganku. Entah dimana dia, tapi aku yakin dia telah menemukan separuh jiwanya dan itu bukan aku. Aku pernah bertahan bertahun-tahun meyakini hanya laki-laki yang pernah begitu baik padaku di suatu masa hidupku adalah pasangan jiwaku, separuh hati yang akhirnya aku temukan. Aku telah menebus waktu-waktu terburuk bersamanya bertahun-tahun lalu ketika sadar dia mungkin laki-laki yang aku cari selama ini. Tapi kini aku tahu, dia adalah bayangan yang kuciptakan dan harus kuhilangkan juga. Aku menyerah untuk memahaminya seperti dia yang enggan memahamiku. Aku melepasnya dan rela atas kebahagiaannya.


Lalu apakah cinta hingga tiada sesuatupun bisa menolaknya? Aku mungkin tidak pernah menemukan jawabannya. Seperti juga jawaban kenapa Tuhan memisahkan hati yang hanya ingin menyatu karena cinta. Atau kenapa Tuhan ingin kita memilih siapa yang lebih besar kita cintai, Dia atau kekasih yang berbeda iman? Cinta, seperti juga pasangan jiwaku, masih merupakan misteri besar. Semesta menyembunyikannya meskipun aku telah berlutut memohon pasangan jiwaku menemukan tulang rusuknya yang hilang ini. Aku adalah perantara hati yang mendiami raga yang nyaris menyerah menemukan sebagian jiwanya yang lenyap meskipun masih meyakini keberadaan dan kedatangannya suatu hari nanti. Semoga.



Wednesday, July 28, 2010

Cara lain bilang “당신을 사랑해요 (dangsineul saranghaeyo / aku tresna kowe /ai lap yu)”

Jakarta, 28 Juli 2010

안녕하세요.(아침) Ann yeong ha se yo .

Aku sudah tidak tahaann, sangat tidak tahan untuk tidak menuliskannya.
Tulisan ini gaya dikit nyulik bahasa korea, gak apa-apa yah :D, soalnya terinspirasi dari drama korea “On Air” yang ditayangkan di O channel setiap hari dari jam 19-an sampai mendekati jam 21.00.

Jadi, di drama ini ada tokoh pria bernama “Lee Gyoung Min”, seorang sutradara muda yang masih baru dalam dunia penyutradaraan di stasiun televise “SBC”, status single dan tokoh wanita bernama “Seo Young Eun”, seorang janda muda berputra 1 berusia sepuluh tahun, penulis naskah dari drama-drama terkenal di korea selatan yang berpenghasilan 20.000 dollar (won kali yah) per episode *hitung sendiri berapa Rupiah* .

Karakter “Lee” adalah perfectionist , pantang menyerah, cuek dalam penampilan, kaku dalam berbicara, bertanggung jawab dalam profesi maupun keseharian. “Young Eun” ditampilkan sebagai karakter keras kepala, emosional, tapi tangguh dan rela mengalah demi kebaikan bersama. Awal perkenalan “Lee” dan “Young Eun” penuh dengan pertengkaran yang tidak seimbang, karena “Lee” memilih diam menanggapi amarah “Young Eun”. Pada akhirnya, “Lee” jatuh cinta pada “Young Eun” ketika mereka menjadi partner kerja mengerjakan proyek drama untuk “SBC” .

Lalu bagaimanakah cara “Lee” mengungkapkan perasaannya pada “Seo Young Eun” ?

Beginilah adegan-adegan yang bisa dilihat.

I. Produksi drama yang ditulis “Young Eun” mengalami masalah berat. Dia merasa dialah penyebab kekacauan ini. Dia menangis mengurung diri di salah satu ruangan kantornya, ketika “Lee” tiba-tiba datang untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. Asisten “Young Eun” bilang, sudah berjam-jam dia menangis. “Lee” tidak beranjak dari kantor “Seo Young Eun”. Berjam-jam kemudian, dengan muka kusut Seo keluar dari ruangannya dan menyalakan lampu di ruang depan kantornya. Terkejut luar biasa mendapati “Lee” tengah duduk diam di sofa.

Seo : Sudah berapa lama kamu disini?
Lee : …….. “ Kamu jangan menangis lagi, karena itu menyakitiku”
Seo : ……….

*aku hampir mewek melihat adegan ini, hiks..hiks..

II. Lee dan Seo terlibat perdebatan yang cukup sengit, ketika tiba-tiba lee berkata pada Seo, “ beginikah cara kamu memperlakukan orang yang sangat ingin tahu masa lalumu? ”


III. Disebuah kursi taman tempat shooting, Seo Young Eun menjawab keingitahuan Lee tentang perceraiannya.

Seo : Suatu hari aku mendapati perempuan sangat cantik di atas kasurku, baru kutahu kemudian bahwa dia adalah pacar suamiku dari sebelum kami menikah. Kasur itu adalah hadiah dari ibuku, kasur yang dibeli dengan hasil kerja kerasnya.

Lee : Kamu mau aku membantumu balas dendam?

Seo : ????

Lee : aku akan membelikanmu kasur baru jika kamu mau membuka hatimu.. *sambil memegang lembut jemari Seo* -- dikit doank megangnya!

Seo : ……


*so sweettt…padahal cuma soal mo dibeliin kasur..hmm..bener gak yah kesimpulanku*


IV. Disebuah perpustakaan umum langganan Seo, tiba-tiba lee muncul dihadapannya yang sedang duduk lesu dilantai.

Lee : Wajahmu keliatan lelah, apakah kamu ada masalah?

Seo : …..

Lee : Aku ada waktu 30 menit. Aku rasa bahuku cukup kuat untuk bersandar kepalamu. *lalu duduk ngegelosor aja udah disamping seo*

Seo : Kepalaku sangat berat karena penuh ide. Apakah bahumu sanggup menahannya?

Lee : *hanya terdiam sambil menggeserkan tubuhnya lebih dekat lalu menepuk bahunya sebagai tanda agar Seo merebahkan kepalanya disana*

Seo : *akhirnya mau juga rebahan disana*


*ah, penulis seo emank dasar maruk orangnya, udah mo dibeliin kasur, tetep aja make bahunya lee buat rebahan >__< *


Begitulah seorang Lee mengungkapkan perasaannya pada Seo Young Eun. Dia tidak pernah mengucapkan kata-kata indah berbunga-bunga sampai berbuah. Dia tidak selalu ada disisi Seo, selalu mengantar pulang sampai depan rumah, menelponnya apakah sudah sampai di rumah atau belum, mengeceknya apakah sudah makan atau belum dan hal-hal lainnya yang di anggap romantis dan menjadi ukuran yang umum ketika seorang laki-laki jatuh cinta pada perempuan pujaannya. Tapi Lee, selalu ada ketika Seo membutuhkan dukungan, tanpa banyak kata dia akan mencari jalan agar Seo bisa bahagia dan kembali ceria menjalani hidupnya.

Laki-laki seperti itulah yang (pernah) mampu menggetarkan hatiku. Sebaliknya, aku juga bisa menuliskan dan mengucapkan ratusan bahkan ribuan kata-kata indah pada seseorang (laki-laki). Tapi mungkin kata-kata indah itu tidak sebanding dengan diamnya aku mendengarkan keluh kesah sampai dia lega, tanganku yang menepuk lembut bahunya untuk meredakan amarahnya, kerelaanku untuk menemaninya makan walaupun tubuhku lelah luar biasa dan moodku juga sedang tidak bagus, menemaninya menjalani hobinya walaupun aku tidak tertarik dengan hobinya.

Semoga kamu mengerti ;)

Wednesday, August 12, 2009

Aku di Dekat Matahari

Tanah Lot, 7 Agustus 2009


Sepanjang sore ini, aku hanya ingin disini
Menatap pecahan buih putih bersama suara berat yang mengantarnya ke bibir karang
Angin sungguh sempurna menemaniku yang sedang menunggu matahari kembali ke tempatnya bersemedi.


Dupa-dupa wangi sesekali tercium mengikuti arah angin
Riuh manusia tak sedikitpun membuatku beranjak dari kedamaian yang menyusup pelan
Semua begitu sempurna,
warna matahari, aroma laut bercampur dupa, semilir angin, bunyi dan pecahan ombak, karang yang kokoh.
Teramat begitu sempurna sebagai lukisan nyata yang bisa kunikmati, kuelus, kubawa masuk melewati raga dan berhenti dengan tenang di kedalaman hati.


Aku di dekat matahari,
tetap ingin di sini sampai malam tak menyisakan sinar keemasan berbalut garis-garis perak yang mulai tertutup mendung.
Aku ingin menyempurnakan rasa syukur di hadapan lukisan sempurna ini
Di sini aku tak lebih indah dari buih putih yang tak lelah mendatangi pantai
Tak lebih syahdu dari deburan ombak yang sempurna menyambangi telingaku
Tak lebih kokoh dari karang yang tetap menjulang meski dihantam ombak dan diterpa angin berjuta kali
Tak lebih besar dari bulir-bulir pasir di antara karang


Di dekat matahari,
Aku tak lagi merasa sepi,
Tak lagi merasa duka,
Tak lagi merasa berat,
Apa yang bisa membuatku sepi, duka dan berat
Jika aku masih bisa di sini,
Di dekat sebuah lukisan sempurna


Aku di dekat matahari.

Monday, June 22, 2009

“UJIAN NAIK KELAS”

Depok, 21 Juni 2009

Semoga kita terhindar dari segala kesombongan, iri dan dengki. Amiin.

Saya bukanlah orang tertangguh di muka bumi ini, yang tahan segala cobaan. Sebaliknya, sejak kecil nenek sering berpesan agar saya jadi orang yang lapang dada dan tidak berkecil hati menghadapi kenyataan. Mungkin nenek tahu bahwa sebenarnya saya adalah orang yang rapuh.


Tapi Allah lebih tahu siapa saya. Allah tahu batas mana saya bisa diuji dan apakah saya sanggup melewati ujian. Dulu, ketika ujian datang, saya selalu berpikir bahwa saya tidak sanggup melewati dan tidak yakin bahwa saya sanggup menahan beban. Meskipun demikian, telah berpuluh tahun saya melalui hidup dengan ujian demi ujian dan Alhamdulillah saya merasa telah melewatinya dengan sebaik mungkin menurut ukuran saya. Soal “nilai kelulusan”, biarlah itu menjadi rahasia Allah.


Setelah melewati segala ujian, saya berpikir apalagi yang mungkin Allah ujikan pada saya. Semua ujian itu pada intinya adalah tentang keikhlasan. Saat kehilangan orang yang dicinta selamanya, pun saat Allah menghendaki pengorbanan materi, waktu, tenaga, pikiran untuk sesama manusia, atau melihat kenyataan pasangan yang saya inginkan lebih memilih orang lain, dan banyak ujian yang ternyata setelah saya renungkan, semua ujian itu adalah ujian atas keikhlasan menjalani hubungan, saya dengan sesama manusia dan lingkungan. Saya merasa, segala badai ujian akan siap saya hadapi tanpa mempertanyakannya. Tanpa sadar, rasa sombong telah menyusup di hati. Astaghfirullah!


Sebuah ujian baru telah datang. Hal yang sungguh sangat sulit untuk ditahan pada pukulan pertama. Sementara saya selalu berusaha mengingat bahwa orang yang sabar adalah yang mampu bertahan pada pukulan pertama ketika ujian itu datang. Saya mempertanyakan pada Allah, kenapa memberi beban yang sepertinya tidak sanggup saya tanggung. Hanya Allah yang tahu apakah saya telah melewati pukulan pertama itu dengan baik atau tidak.


Tak kurang waktu saya merenungi apa yang Allah kehendaki dari ujian ini. Sebuah ujian ketika doa yang saya panjatkan di setiap waktu teringat untuk dipanjatkan, selama bertahun-tahun saya memohon dengan doa itu, ternyata Allah menjawabnya dengan mewujudkan ketakutan saya menjadi kenyataan. Allah menjawab doa saya dengan kebalikan dari isi doa saya. Padahal Allah berfirman, “mintalah pada-Ku, maka akan Aku kabulkan”. Saya telah meminta, sepenuh hati sungguh saya meminta, diantara sujud, diantara puasa, diantara sholat malam, diantara waktu-waktu yang baik untuk berdoa. Itu membuat saya berpikir manakah janji Allah ketika ujian ini datang. Muncullah rasa kecewa, sedikit marah, tak mengerti kenapa Allah memberi ujian ini.


Tiba-tiba saya teringat kisah para nabi. Membayangkan perasaan mereka ketika doa mereka dijawab dengan hal sebaliknya. Tentu para nabi yang terjaga dari dosa, lebih makbul doanya jika dibanding manusia biasa. Tapi kenyataannya, Adam tidak bisa mencegah anaknya yang membunuh anaknya yang lain; Nuh tetap tidak bisa membawa keluarganya untuk mengikuti keyakinannya hingga mereka menjadi bagian yang tenggelam oleh air bah; Ayub kehilangan segalanya dan dinistakan oleh sekitarnya. Mereka adalah para manusia mulia yang doa-doanya didengar dan dikabulkan Allah. Lalu, ketika doa mereka dijawab sebaliknya, apakah yang Allah sebenarnya maksudkan. Mungkin ini adalah ujian keikhlasan sebagai hamba. Para nabi tetap ikhlas menjadi hamba yang taat meskipun doa mereka dijawab sebaliknya. Tentunya Allah juga lebih tau apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Subhanallah.


Tapi siapalah saya. Hamba biasa yang belum bisa mengerjakan sholat pada waktunya, yang entah sudah berapa lama tidak melakukan sholat malam, dhuha, puasa sunnah dan membaca ayat-ayat suci penentram hati. Siapalah saya, yang meskipun berusaha menjaga pakaian yang menutup aurat tapi belum juga melaksanakan perintah Allah untuk sepenuhnya berljilbab. Terlalu berlebihan jika saya menyamakan jenis ujian saya ini dengan ujian para hamba mulia, nabi dan rasul Allah. Kalaupun iya, maka tingkatannya akan jauh berbeda. Saya berusaha meneladani bagaimana mereka menjalani ujian demi ujian dan tetap menjadi hamba yang ketaatannya tidak berkurang bahkan makin bertambah.


Allah tengah menguji keikhlasan saya menjadi hamba-Nya dengan tingkatan ujian untuk manusia biasa. Sebuah ujian yang sungguh tak pernah terlintas selama ini. Allah ingin menguji hubungan saya dengan-Nya, benarkah saya telah ikhlas menjadi hamba-Nya. Apakah syahadat yang setiap hari saya ucapkan benar dari hati. Apakah kata “Laaillahaillallah” saya pahami benar maknanya. Apakah ketika doa saya dijawab dengan sebaliknya maka saya masih ikhlas menjadi hamba-Nya, masih beriman pada-Nya seperti rukun iman pertama yang telah saya hafal sedari kecil. Apakah iman saya pada-Nya bukan sekedar kata-kata yang terucap tanpa makna, maka Allah memberi saya ujian ini untuk melihat kesungguhan saya menjadi hamba-Nya. Subhanallah, semua adalah rahasia yang hanya menjadi milik Allah. Allah tengah mengajarkan pada saya bagaimana menjadi “hamba yang tanpa pamrih”. Saya tidak tahu apakah saya bisa menghadapi ujian ini kemudian bisa “naik kelas” setelah saya melaluinya, ataukah saya hanya akan menjadi mahluk yang merugi karena ternyata belum mampu ikhlas menjadi hamba Allah. Wallahuallam bisawwab...

Wednesday, April 22, 2009

Depok, 21 April 2009

A MAN I ADORE
(sebuah perenungan tentang makna dan akibat emansipasi)


Belasan menit menunggu kendaraan umum di sekitar jam 9 malam di sebuah jalan yang mulai sepi hanya ditemani gerimis, membuat pikiranku seperti kembali mengingat saat-saat seperti ini, sendirian malem-malem nunggu kendaraan menuju ke rumah. Entah sudah berapa sering aku begini.

Bagi perempuan, tentunya tidak semua laki-laki mengerti hal ini, sesuatu yang membuat ngeri adalah jalan sepi, gak ada temennya, lama pula nunggu kendaraan umum, terlebih jika itu adalah malam hari. Itu pula yang kurasakan saat menunggu menit-menit tanpa kejelasan kapan bisa nyampe rumah. Hal yang membuatku ngeri itu pernah membuatku berpikir, SEANDAINYA aku menjadi laki-laki, maka tak akan membiarkan teman-teman perempuanku merasakan kengerian ini.

Jaman telah sangat berubah. Ketika makna EMANSIPASI diterjemahkan secara bebas tanpa arah, maka laki-laki dan perempuan “TERPAKSA” menjadi “SAMA”. Emansipasi bukan lagi sebuah KESETARAAN, tapi telah berubah bentuk menjadi PERBEDAAN yang terpaksa DISAMAKAN, karena “setara” berbeda makna dengan “sama”. Mungkin itulah yang mendasari laki-laki berpikir bahwa seorang perempuan itu manja hanya karena tiba-tiba ingin diantar atau ditemani menunggu kendaraan pulang ke rumah. Dengan alasan membuat perempuan tidak menjadi manja maka laki-laki lebih suka membiarkan perempuan dalam situasi yang membuat ngeri. Mungkin itu juga sebabnya laki-laki berpura-pura tidak melihat ibu tua, perempuan hamil, sakit, yang sedang berdiri dalam bis maupun kereta dengan tetap diam duduk di tempatnya. Pada akhirnya, sesama perempuanlah yang rela memberikan tempat duduknya.

Apakah kondisi sekarang yang dicita-citakan oleh pencetus emansipasi di Indonesia, Kartini? Menurutku tidak. Aku pribadi memaknai emansipasi sebagai sebuah kesetaraan BUKAN persamaan dengan laki-laki. Aku berpendidikan, berkarir, dan berkarya seperti yang dilakukan para laki-laki, tapi aku tidak pernah berpikir bahwa aku SAMA dengan mereka.

Perbedaan ada karena KODRAT. Tidak ada yang bisa merubah itu, merubah laki-laki bisa menghilangkan perbedaan dengan perempuan dalam mengandung, melahirkan dan menyusui. Tidakkah para laki-laki itu berpikir, betapa lelahnya menjadi perempuan, yang sama-sama berkarir seperti suaminya, tapi dengan kodratnya dia harus bangun lebih awal karena anaknya ingin disusui, membawa mahluk yang harus dilindungi di dalam tubuhnya karena dia sedang mengandung, tiba di rumah tidak bisa langsung istirahat karena susu hasil perasan tadi siang di kantor harus segera diberikan pada anaknya, rasa lelah yang berlipat kali dibanding laki-laki karena rutinitas itu menjadi bagiannya selain sebagai wanita karir. Tidakkah laki-laki berpikir betapa lemahnya perempuan untuk mampu menyangga tubuhnya ketika menstruasi hari pertama menyakiti tubuhnya hingga membuat ngilu sampai ke sumsum tulang.

Aku mengenal banyak laki-laki yang menganggapku sebagai kenalan, teman, saudara, ataupun sahabat. Pertanyaan yang sering tercetus di otakku ketika mengamati keseharian mereka adalah benarkah laki-laki terlahir sebagai mahluk yang PAMRIH? Seperti misal laki-laki tidak akan menjaga dan memberi pertolongan pada perempuan kecuali mereka menginginkan sesuatu dari perempuan. Begitulah yang diungkapkan oleh beberapa teman yang dari lahir memang laki-laki.

Aku sadar tidak ada manusia yang sempura, baik perempuan maupun laki-laki. Tentunya aku tidak menginginkan laki-laki yang sempurna, karena dia tidak ada di dunia nyata. Aku hanya menginginkan laki-laki yang mengerti apa yang dibutuhkan perempuan, mengerti bagaimana memperlakukan perempuan sesuai kodratnya.

A man I adore is a gentleman. Laki-laki yang dengan KODRAT-nya bisa memperlakukan perempuan dengan PANTAS. Maka ketika aku bertemu dengan laki-laki yang terlanjur aku sayangi, tapi dia tidak bisa memperlakukan perempuan dengan pantas, pastinya bukan dia yang akan menjadi PILIHANKU untuk mendampingi sisa umurku ;)


Friday, February 20, 2009

MANUSIA BIASA

Jakarta, 5 Februari 2009

Apa yang bisa kukatakan pada mereka, ketika mereka tak percaya aku manusia.
Aku bukan malaikat tanpa nafsu dan amarah.
Lalu tiba masa aku menyakiti mereka dan sebaliknya, tanpa aku sadar.
Mereka begitu terluka dan kecewa,
walaupun mereka lupa aku pun pernah merasakan hal yang sama.

Aku tak peduli mereka merasa bersalah atau tidak,
tapi aku ingin teriakkan rasa sakit karena menyakiti mereka,
karena rasa salah yang menyesak.
Karena aku bukan malaikat yang tidak bisa merasakan sakit ini.

Tenang,
Apalagi yg bisa aku capai untuk sebuah ketenangan.
Aku bukan malaikat yg mencurahkan seluruh hidupnya bagi Sang Khalik
tanpa mempertanyakannya.
Aku manusia biasa yang menggerutu pada nasib dan mempertanyakan takdir.

Lihat
Segala kesempurnaan manusia tak diberikan pada mahluk lainnya.
Tapi aku merasa hina oleh diri yang tak tahu berterima kasih pada Khalik.
Bacaan2 suci yang kutinggalkan entah sejak kapan seperti suara yang
mengingatkanku akan bau anyir tubuhku yg ditinggalkan rohku suatu hari nanti.

Aku bersimpuh tanpa daya
Karena aku adalah manusia biasa.
Luruh dalam air mata tanpa bisa aku hentikan sambil tak berhenti memanggil-Nya
Tolong aku, wahai Penyangga Hidup seluruh mahluk di alam semesta.
Aku tidak bisa mensucikan bathinku sendiri,
Aku terperangkap oleh waktu yang sia-sia,
Aku ingin di dekat-Mu.

Aku telah meluruhkan air mata sepanjang hari itu.
Hanya Dia yang bisa menghapusnya.
Dia yang menciptakan manusia biasa ini.

Monday, January 19, 2009

Untuknya Aku Ada

Pangandaran, 17 Januari 2009


Sepertinya aku telah mengenal dia dari satu masa
Saat dendam pernah menorehkan bekas
Saat kaki tak ingin melangkah
Saat tubuh tergeletak tanpa daya
Saat diam adalah jawaban

Dia
Segaris dengan mentari senja yang bersiap kembali ke balik awan
Duduk tenang memandangku dari sudut matanya
Menjagaku dari jauh tanpa kata
Dia
Seperti mengikutiku mengantar mentari senja

Aku
Melihatnya dengan gamang
Mencarinya ditiap sisi hati yang mungkin pernah membawanya
Sepertinya dia tak asing bagiku
Sepertinya dia menjadi bagian jiwaku
Entah dulu, kini, atau barangkali nanti?

Aku
Ingin menanyakan padanya
Dirimukah orang yang akan menemaniku memandang mentari terbenam
di sisa hidupku nanti?
Dirimukah yang hadir dalam rajutan mimpi seolah sedang menjaga tidurku?

Dia
Memberikan senyum terindah yang ingin kusimpan, kumaknai, dan kuyakini sebagai milikku
Dia mencuri sedikit sinar mentari senja untuk diberikan padaku

Aku
Tersenyum seperti senyumnya senja itu
Senyum yang membayar penat oleh kegamangan memaknai dirinya

Aku
Begitu tenang menerima pantulan sinar senja dari sudut matanya
Seolah tak peduli bahwa mungkin bukan dia yang akan menemani sisa hidupku
Aku ingin tetap disini
Sampai mentari benar-benar tak menyisakan sinar
Sampai gelap membuat dia tak mampu memandangku lagi.