Wednesday, April 22, 2009

Depok, 21 April 2009

A MAN I ADORE
(sebuah perenungan tentang makna dan akibat emansipasi)


Belasan menit menunggu kendaraan umum di sekitar jam 9 malam di sebuah jalan yang mulai sepi hanya ditemani gerimis, membuat pikiranku seperti kembali mengingat saat-saat seperti ini, sendirian malem-malem nunggu kendaraan menuju ke rumah. Entah sudah berapa sering aku begini.

Bagi perempuan, tentunya tidak semua laki-laki mengerti hal ini, sesuatu yang membuat ngeri adalah jalan sepi, gak ada temennya, lama pula nunggu kendaraan umum, terlebih jika itu adalah malam hari. Itu pula yang kurasakan saat menunggu menit-menit tanpa kejelasan kapan bisa nyampe rumah. Hal yang membuatku ngeri itu pernah membuatku berpikir, SEANDAINYA aku menjadi laki-laki, maka tak akan membiarkan teman-teman perempuanku merasakan kengerian ini.

Jaman telah sangat berubah. Ketika makna EMANSIPASI diterjemahkan secara bebas tanpa arah, maka laki-laki dan perempuan “TERPAKSA” menjadi “SAMA”. Emansipasi bukan lagi sebuah KESETARAAN, tapi telah berubah bentuk menjadi PERBEDAAN yang terpaksa DISAMAKAN, karena “setara” berbeda makna dengan “sama”. Mungkin itulah yang mendasari laki-laki berpikir bahwa seorang perempuan itu manja hanya karena tiba-tiba ingin diantar atau ditemani menunggu kendaraan pulang ke rumah. Dengan alasan membuat perempuan tidak menjadi manja maka laki-laki lebih suka membiarkan perempuan dalam situasi yang membuat ngeri. Mungkin itu juga sebabnya laki-laki berpura-pura tidak melihat ibu tua, perempuan hamil, sakit, yang sedang berdiri dalam bis maupun kereta dengan tetap diam duduk di tempatnya. Pada akhirnya, sesama perempuanlah yang rela memberikan tempat duduknya.

Apakah kondisi sekarang yang dicita-citakan oleh pencetus emansipasi di Indonesia, Kartini? Menurutku tidak. Aku pribadi memaknai emansipasi sebagai sebuah kesetaraan BUKAN persamaan dengan laki-laki. Aku berpendidikan, berkarir, dan berkarya seperti yang dilakukan para laki-laki, tapi aku tidak pernah berpikir bahwa aku SAMA dengan mereka.

Perbedaan ada karena KODRAT. Tidak ada yang bisa merubah itu, merubah laki-laki bisa menghilangkan perbedaan dengan perempuan dalam mengandung, melahirkan dan menyusui. Tidakkah para laki-laki itu berpikir, betapa lelahnya menjadi perempuan, yang sama-sama berkarir seperti suaminya, tapi dengan kodratnya dia harus bangun lebih awal karena anaknya ingin disusui, membawa mahluk yang harus dilindungi di dalam tubuhnya karena dia sedang mengandung, tiba di rumah tidak bisa langsung istirahat karena susu hasil perasan tadi siang di kantor harus segera diberikan pada anaknya, rasa lelah yang berlipat kali dibanding laki-laki karena rutinitas itu menjadi bagiannya selain sebagai wanita karir. Tidakkah laki-laki berpikir betapa lemahnya perempuan untuk mampu menyangga tubuhnya ketika menstruasi hari pertama menyakiti tubuhnya hingga membuat ngilu sampai ke sumsum tulang.

Aku mengenal banyak laki-laki yang menganggapku sebagai kenalan, teman, saudara, ataupun sahabat. Pertanyaan yang sering tercetus di otakku ketika mengamati keseharian mereka adalah benarkah laki-laki terlahir sebagai mahluk yang PAMRIH? Seperti misal laki-laki tidak akan menjaga dan memberi pertolongan pada perempuan kecuali mereka menginginkan sesuatu dari perempuan. Begitulah yang diungkapkan oleh beberapa teman yang dari lahir memang laki-laki.

Aku sadar tidak ada manusia yang sempura, baik perempuan maupun laki-laki. Tentunya aku tidak menginginkan laki-laki yang sempurna, karena dia tidak ada di dunia nyata. Aku hanya menginginkan laki-laki yang mengerti apa yang dibutuhkan perempuan, mengerti bagaimana memperlakukan perempuan sesuai kodratnya.

A man I adore is a gentleman. Laki-laki yang dengan KODRAT-nya bisa memperlakukan perempuan dengan PANTAS. Maka ketika aku bertemu dengan laki-laki yang terlanjur aku sayangi, tapi dia tidak bisa memperlakukan perempuan dengan pantas, pastinya bukan dia yang akan menjadi PILIHANKU untuk mendampingi sisa umurku ;)