Thursday, January 3, 2013

Tanya yang belum Terjawab

Jakarta, 3 Januari 2013


Seperti bayangan yang enggan meninggalkanku, terngiang-ngiang pertanyaan dari seorang teman baru. Kenapa aku mengharapkan pasangan yang seiman? Bagaimana jika suatu hari aku jatuh cinta pada seseorang yang berlainan iman, lalu kami terlalu jauh merasa hingga hati sulit dipisahkan? Aku lebih banyak tersenyum menanggapinya meskipun dalam diriku bermunculan pertanyaan lainnya. Kenapa ada cinta jika kami tidak bisa bersama? Kenapa Tuhan yang dipahami dengan cara berbeda tidak bisa kami persamakan dengan sederhana, sesederhana hati yang hanya menginginkan cinta?


Aku berada pada titik perjalanan terjauhku untuk percaya tentang pasangan jiwa. Berpuluh tahun yang lalu seorang gadis kecil yang beranjak remaja, jatuh cinta pada pandangan pertama pada bocah laki-laki seumurannya. Anak itu tampan, berdarah jawa dan tionghoa, bersikap santun dan agak pendiam. Tapi gadis kecil itu hanya sebentar mengaguminya karena dia harus meninggalkan kota dimana cinta pertamanya berpijar dan meyakini suatu hari akan bertemu dengan pasangan jiwanya.


Berpuluh tahun kemudian, aku masih mengingat pijaran rasa yang seperti kupu-kupu mungil beterbangan merambati hati dan meringankan rasa. Indah, hanya itu yang aku ingat. Sebab ketika beranjak dewasa, jatuh cinta yang kurasakan tidaklah seperti itu. Indah telah bergabung perih yang membuatku mengerti arti kata tertusuk sembilu. Telah kulalui banyak waktu untuk mencari pasangan jiwaku. Telah kulewatkan masa dimana aku bisa memilih sendiri pria mana yang bisa jadi pasangan hidupku, karena aku merasa bukan mereka pasangan jiwaku.


Tapi pasangan jiwaku juga bukan bocah laki-laki yang sekarang telah tumbuh sama dewasanya denganku. Entah dimana dia, tapi aku yakin dia telah menemukan separuh jiwanya dan itu bukan aku. Aku pernah bertahan bertahun-tahun meyakini hanya laki-laki yang pernah begitu baik padaku di suatu masa hidupku adalah pasangan jiwaku, separuh hati yang akhirnya aku temukan. Aku telah menebus waktu-waktu terburuk bersamanya bertahun-tahun lalu ketika sadar dia mungkin laki-laki yang aku cari selama ini. Tapi kini aku tahu, dia adalah bayangan yang kuciptakan dan harus kuhilangkan juga. Aku menyerah untuk memahaminya seperti dia yang enggan memahamiku. Aku melepasnya dan rela atas kebahagiaannya.


Lalu apakah cinta hingga tiada sesuatupun bisa menolaknya? Aku mungkin tidak pernah menemukan jawabannya. Seperti juga jawaban kenapa Tuhan memisahkan hati yang hanya ingin menyatu karena cinta. Atau kenapa Tuhan ingin kita memilih siapa yang lebih besar kita cintai, Dia atau kekasih yang berbeda iman? Cinta, seperti juga pasangan jiwaku, masih merupakan misteri besar. Semesta menyembunyikannya meskipun aku telah berlutut memohon pasangan jiwaku menemukan tulang rusuknya yang hilang ini. Aku adalah perantara hati yang mendiami raga yang nyaris menyerah menemukan sebagian jiwanya yang lenyap meskipun masih meyakini keberadaan dan kedatangannya suatu hari nanti. Semoga.



No comments: