Thursday, July 26, 2007

SISI-SISI BANDUNG

Bandung, menjadi kota tujuan wisata yang tidak pernah bosan untuk dikunjungi dan dijelajahi. Pertama kali mengunjungi Bandung di awal 90-an, dalam sebuah karya wisata SMP, saya jatuh cinta pada Bandung. Betapa senangnya saya, merasakan hawa sejuk bandung terlebih ketika mengunjungi Tangkuban Perahu; melihat baju-baju dan sepatu yang dijual (hanya melihat saja, karena saya yakin tidak mampu membelinya dengan uang saku seadanya yang saya bawa); mengunjungi museum geologi; dan menyusuri jalan-jalan mungil Bandung dengan keramahan penduduk sekitar. Begitu berkesannya Bandung sehingga saya bertekat menjadikan Bandung sebagai tempat menuntut ilmu selepas SMA. Semakin bulat tekat saya, ketika di akhir masa SMA saya kembali mengikuti karya wisata ke Bandung. Pada akhirnya, saya memang tidak melanjutkan kuliah di Bandung, meskipun demikian, Bandung tetap menjadi kota di mana saya ingin menetap. Tidak pernah bosan saya mengunjungi Bandung, karena selalu ada hal baru yang menarik untuk dilakukan. Dulu, ketika saya hanya mampu membeli sebuah poster band favorit saya, “Bon Jovi” dan beberapa bungkus dodol sebagai oleh-oleh dengan uang sepuluh ribu Rupiah yang diselipkan oleh Ibu saya ketika berangkat karya wisata, hingga sekarang ketika saya bisa membelanjakan ratusan ribu dalam hitungan menit untuk baju-baju yang belum tentu dipakai, Bandung menyimpan berbagai cerita menarik di sudut-sudut kotanya.

Wajah Bandung di pertengahan 2000-an telah banyak berubah. Terik matahari telah mengalahkan hawa sejuk Bandung yang pernah membuat saya jatuh cinta. Seiring dengan Bandung yang menjadi tujuan wisata belanja, pertumbuhan mal-mal dan pusat perbelanjaan serta hiburan seperti tidak terkendali. Jalanan yang sempit menjadi semakin sempit oleh kendaraan yang seperti berlomba memasuki tempat-tempat belanja di sepanjang jalan kota Bandung. Mobil-mobil bagus yang parkir tidak teratur di kanan kiri jalan makin menambah sesaknya kota. Banyak orang membawa belanjaan pakaian yang mungkin menurut mereka “sangat murah” dibanding jumlah uang yang sanggup mereka belanjakan. Mungkin itu sebabnya, banyak yang tangannya terlihat tidak ada lagi tempat untuk menggantungkan tas belanjaan. Sejenak, saya keluar dari keriuhan itu, tepatnya menahan diri untuk tidak membeli sesuatu yang sebenarnya tidak perlu.

Pemandangan sangat kontras tertangkap oleh mata. Saya tidak terlalu ingat kapan pertama kali melihat bocah-bocah usia SD atau awal SMP memikul cobek di sekitar kawasan perbelanjaan, selama beberapa kali mengunjungi Bandung. Mereka tidak menawarkan dagangannya. Mereka hanya menunggu dengan harapan ada yang menawar atau bahkan membeli dagangannya. Mata-mata polos yang dengan pasrah memandang orang-orang yang sedang sibuk membawa belanjaan atau sekedar makan di pinggir jalan tanpa rasa iri meskipun mungkin mereka ingin melakukan hal yang sama.

Bandung kini, disetiap sudut keramaian penuh dengan tubuh-tubuh kurus dan mungil memikul cobek-cobek dari batu untuk dijajakan. Belum lagi bocah-bocah lesu yang duduk di teras toko menawarkan koran maupun mainan. Mereka bukan anak-anak jalanan dengan sorot mata liar seperti yang sering saya temui di jalanan kota-kota besar. Mereka anak-anak yang menjawab dengan sopan, berbicara seperlunya ketika ditanya, tegar dan tidak pernah meminta belas kasihan. Mereka terlihat masih malu-malu menawarkan jualannya tapi sama sekali tidak malu dengan apa yang sedang mereka jalani. Saya tidak tahu apakah mereka tetap berjualan di hari sekolah, karena beberapa dari mereka masih sekolah. Mereka berombongan berangkat pagi dari kota-kota sekitar Bandung dengan kereta api dan pulang ketika hari senja dengan membayar seadanya pada sopir mobil bak terbuka. Saya tidak mendengar mereka mengeluh. Dengan kesadaran dan kerelaan mereka fasih menceritakan kepada siapa mereka memberikan uang hasil jualan hari ini. Orang tua mereka sedang menunggu hasil keihklasan anak-anak yang mungkin belum akil baliq, mengemban tanggung jawab kelangsungan ekonomi keluarga. Tanpa keluhan sedikitpun. Mereka bercerita dengan senyum dan sambil bercanda dengan sebayanya.

Bandung tidak hanya tumbuh pesat sebagai tempat wisata belanja, tapi juga perbukitan yang disulap menjadi tempat-tempat makan luar ruangan yang berhawa sejuk dengan pemandangan alam nan hijau atau taburan bintang ketika langit malam terlihat cerah. “Kampung Daun”, salah satu tempat makan yang membuat saya penasaran. Saya sering melihatnya di salah satu televisi swasta sebagai lokasi dari sebuah acara yang ditayangkan menjelang adzan maghib. Belum lagi cerita dari teman-teman yang pernah mengunjungi “Kampung Daun”. Jadilah rasa penasaran yang harus dituntaskan dengan mengunjunginya. Di suatu sore menjelang senja, akhirnya sampai juga saya di sekitar kawasan “Kampung Daun” bersama teman-teman saya. Begitu inginnya merasakan hawa sejuk, saya membuka jendela. Benar-benar segar udaranya. Sesampai di lokasi, kami mulai foto di sana-sini. Kami sengaja mencari tempat yang agak tinggi hingga kesejukan dan kedamaian “Kampung Daun” makin terasa. Sambil menunggu makanan yang kami pesan datang, kami memutuskan untuk bergantian sholat maghrib di Musholla yang ada di pelataran bawah. Saya menuruni jalan setapak yang diterangi obor-obor di kanan kiri jalan dan mendengarkan suara gemericik air di bawah jembatan yang sengaja dibuat untuk menambah kesan alami. Malam beranjak indah di “Kampung Daun”.

Sebuah Musholla kecil yang cukup bersih terletak di samping kanan dari arah tempat makan. Ada beberapa orang yang tengah sholat di barisan perempuan bersama saya. Di akhir sholat, saya mendengar perbincangan anak kecil yang tiba-tiba menghilangkan keinginan saya untuk segera keluar dari Musholla dan menikmati secangkir espresso serta makanan lain yang sudah saya pesan. Dengan logat sunda yang kental, sang kakak mengajak adiknya untuk segera melaksanakan sholat sunnah (tidak wajib dilaksanakan) selepas maghrib dan berdoa agar jualan kali ini laku banyak. Saya baru tersadar ada 2 bocah penjual coklat, sedang berdoa dengan khusyuknya di samping saya, sementara saya berpikir untuk segera meninggalkan Musholla begitu sholat wajib telah saya selesaikan karena di otak saya hanya terisi oleh secangkir espresso dan sepiring ceker yang menunggu saya di atas. Sedikit perbincangan terjadi antara saya dan mereka. Sang adik ternyata menginginkan coklat yang di jual kakaknya. Tapi tiga ribu rupiah terlalu mahal untuknya, sementara keuntungan hari itu mungkin setara dengan 2 coklat. Dua kakak beradik itu dengan sopan menawarkan dagangan. Dengan sopan pula menjawab pertanyaan bagaimana mereka bisa di sini. Setiap hari, selesai mengerjakan tugas sekolah, sang ibu mengantar untuk berjualan di “Kampung Daun” dan di jemput pada jam sembilan malam. Saya tidak bisa membayangkan selelah apa sang adik yang masih TK itu harus menunggu jam sembilan malam untuk melepaskan lelahnya seharian dan bagaimana kaki-kaki mungilnya bisa menahan pegal menaiki dan menuruni jalan setapak, sementara saya yang baru sekali saja sudah sangat kelelahan. Di “Kampung Daun” saya melihat belasan bocah lainnya melakukan hal yang sama.

Saya kembali menuju tempat di mana teman-teman telah menunggu dengan menu lengkap yang telah kami pesan. Sebuah saung yang hangat dengan bantal duduk yang besar, meja penuh makanan dan minuman membuat saya terlupa dengan bocah-bocah penjual coklat dan mawar yang tidak bosan menawarkan dengan suara lirih pada mereka yang tengah melintas. Saya kembali sibuk dengan teman-teman dan makanan yang sedari tadi memenuhi otak saya. Benar-benar lupa dengan seorang bocah yang menginginkan coklat seharga tiga ribu rupiah yang baginya sangat mahal. Itu sebabnya saya mengeluhkan makanan yang tidak enak karena lidah yang tidak terbiasa dengan racikan bumbunya, sehingga tidak menghabiskannya. Padahal jika saya menghabiskan makanan itu tidak akan membuat saya kekenyangan apalagi mati keracunan. Saya membiarkan makanan mahal itu tergeletak sia-sia.

Bandung, denyut nadinya tidak pernah berhenti menawarkan keceriaan di setiap sudut kotanya. Paris Van Java, menjadi lokasi kesekian yang membuat saya penasaran. Itu sebabnya saya dan teman-teman rela bermacet-macet puluhan meter hanya untuk masuk ke halamannya, belum lagi puluhan menit yang kami habiskan untuk mencari tempat parkir. Paris Van Java, sebuah pusat perbelanjaan, hiburan, kafe dan restoran dalam maupun luar ruangan yang sangat luas menurut saya jika dibandingkan sempitnya jalan-jalan utama Bandung. Sampai lewat dini hari saya menuntaskan keinginan untuk mengunjungi Paris Van Java bersama teman-teman saya, ketika kemudian beranjak menyusuri jalanan Bandung untuk mencari sudut kota yang lain. Bandung punya beberapa tempat makan yang masih buka lewat dini hari di sepanjang Dago. Saya tidak sanggup lagi mengikuti denyut nadi Bandung sehingga saya tertidur sebelum sampai ke tempat tujuan berikutnya. Segelas teh tawar hangat sedikit membantu untuk kembali melihat keramaian Bandung lewat dini hari. Seperti tak tersisa jejak-jejak kaki kecil yang menjajakan dagangannya di bawah terik matahari. Seperti tak bersisa juga rasa iba pada mereka karena saya dengan mudah kembali terlelap di atas jok mobil yang empuk dengan alunan suara Vina Panduwinata melantunkan lagu kumpul bocah, “Kaki kecil berlari kesana- kemari sambil tertawa riang …”.

No comments: