Monday, June 22, 2009

“UJIAN NAIK KELAS”

Depok, 21 Juni 2009

Semoga kita terhindar dari segala kesombongan, iri dan dengki. Amiin.

Saya bukanlah orang tertangguh di muka bumi ini, yang tahan segala cobaan. Sebaliknya, sejak kecil nenek sering berpesan agar saya jadi orang yang lapang dada dan tidak berkecil hati menghadapi kenyataan. Mungkin nenek tahu bahwa sebenarnya saya adalah orang yang rapuh.


Tapi Allah lebih tahu siapa saya. Allah tahu batas mana saya bisa diuji dan apakah saya sanggup melewati ujian. Dulu, ketika ujian datang, saya selalu berpikir bahwa saya tidak sanggup melewati dan tidak yakin bahwa saya sanggup menahan beban. Meskipun demikian, telah berpuluh tahun saya melalui hidup dengan ujian demi ujian dan Alhamdulillah saya merasa telah melewatinya dengan sebaik mungkin menurut ukuran saya. Soal “nilai kelulusan”, biarlah itu menjadi rahasia Allah.


Setelah melewati segala ujian, saya berpikir apalagi yang mungkin Allah ujikan pada saya. Semua ujian itu pada intinya adalah tentang keikhlasan. Saat kehilangan orang yang dicinta selamanya, pun saat Allah menghendaki pengorbanan materi, waktu, tenaga, pikiran untuk sesama manusia, atau melihat kenyataan pasangan yang saya inginkan lebih memilih orang lain, dan banyak ujian yang ternyata setelah saya renungkan, semua ujian itu adalah ujian atas keikhlasan menjalani hubungan, saya dengan sesama manusia dan lingkungan. Saya merasa, segala badai ujian akan siap saya hadapi tanpa mempertanyakannya. Tanpa sadar, rasa sombong telah menyusup di hati. Astaghfirullah!


Sebuah ujian baru telah datang. Hal yang sungguh sangat sulit untuk ditahan pada pukulan pertama. Sementara saya selalu berusaha mengingat bahwa orang yang sabar adalah yang mampu bertahan pada pukulan pertama ketika ujian itu datang. Saya mempertanyakan pada Allah, kenapa memberi beban yang sepertinya tidak sanggup saya tanggung. Hanya Allah yang tahu apakah saya telah melewati pukulan pertama itu dengan baik atau tidak.


Tak kurang waktu saya merenungi apa yang Allah kehendaki dari ujian ini. Sebuah ujian ketika doa yang saya panjatkan di setiap waktu teringat untuk dipanjatkan, selama bertahun-tahun saya memohon dengan doa itu, ternyata Allah menjawabnya dengan mewujudkan ketakutan saya menjadi kenyataan. Allah menjawab doa saya dengan kebalikan dari isi doa saya. Padahal Allah berfirman, “mintalah pada-Ku, maka akan Aku kabulkan”. Saya telah meminta, sepenuh hati sungguh saya meminta, diantara sujud, diantara puasa, diantara sholat malam, diantara waktu-waktu yang baik untuk berdoa. Itu membuat saya berpikir manakah janji Allah ketika ujian ini datang. Muncullah rasa kecewa, sedikit marah, tak mengerti kenapa Allah memberi ujian ini.


Tiba-tiba saya teringat kisah para nabi. Membayangkan perasaan mereka ketika doa mereka dijawab dengan hal sebaliknya. Tentu para nabi yang terjaga dari dosa, lebih makbul doanya jika dibanding manusia biasa. Tapi kenyataannya, Adam tidak bisa mencegah anaknya yang membunuh anaknya yang lain; Nuh tetap tidak bisa membawa keluarganya untuk mengikuti keyakinannya hingga mereka menjadi bagian yang tenggelam oleh air bah; Ayub kehilangan segalanya dan dinistakan oleh sekitarnya. Mereka adalah para manusia mulia yang doa-doanya didengar dan dikabulkan Allah. Lalu, ketika doa mereka dijawab sebaliknya, apakah yang Allah sebenarnya maksudkan. Mungkin ini adalah ujian keikhlasan sebagai hamba. Para nabi tetap ikhlas menjadi hamba yang taat meskipun doa mereka dijawab sebaliknya. Tentunya Allah juga lebih tau apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Subhanallah.


Tapi siapalah saya. Hamba biasa yang belum bisa mengerjakan sholat pada waktunya, yang entah sudah berapa lama tidak melakukan sholat malam, dhuha, puasa sunnah dan membaca ayat-ayat suci penentram hati. Siapalah saya, yang meskipun berusaha menjaga pakaian yang menutup aurat tapi belum juga melaksanakan perintah Allah untuk sepenuhnya berljilbab. Terlalu berlebihan jika saya menyamakan jenis ujian saya ini dengan ujian para hamba mulia, nabi dan rasul Allah. Kalaupun iya, maka tingkatannya akan jauh berbeda. Saya berusaha meneladani bagaimana mereka menjalani ujian demi ujian dan tetap menjadi hamba yang ketaatannya tidak berkurang bahkan makin bertambah.


Allah tengah menguji keikhlasan saya menjadi hamba-Nya dengan tingkatan ujian untuk manusia biasa. Sebuah ujian yang sungguh tak pernah terlintas selama ini. Allah ingin menguji hubungan saya dengan-Nya, benarkah saya telah ikhlas menjadi hamba-Nya. Apakah syahadat yang setiap hari saya ucapkan benar dari hati. Apakah kata “Laaillahaillallah” saya pahami benar maknanya. Apakah ketika doa saya dijawab dengan sebaliknya maka saya masih ikhlas menjadi hamba-Nya, masih beriman pada-Nya seperti rukun iman pertama yang telah saya hafal sedari kecil. Apakah iman saya pada-Nya bukan sekedar kata-kata yang terucap tanpa makna, maka Allah memberi saya ujian ini untuk melihat kesungguhan saya menjadi hamba-Nya. Subhanallah, semua adalah rahasia yang hanya menjadi milik Allah. Allah tengah mengajarkan pada saya bagaimana menjadi “hamba yang tanpa pamrih”. Saya tidak tahu apakah saya bisa menghadapi ujian ini kemudian bisa “naik kelas” setelah saya melaluinya, ataukah saya hanya akan menjadi mahluk yang merugi karena ternyata belum mampu ikhlas menjadi hamba Allah. Wallahuallam bisawwab...

1 comment:

Unknown said...

Permisi,,

shalnoll lewat...